Senin, 25 Januari 2010

PENGGANTI MAKANAN POKOK

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang Masalah
Setiap makhluk hidup membutuhkan makanan. Tanpa makanan, makhluk hidup akan sulit dalam mengerjakan aktivitas sehari-harinya. Makanan dapat membantu kita dalam mendapatkan energi, membantu pertumbuhan badan dan otak. Memakan makanan yang bergizi akan membantu pertumbuhan kita, baik otak maupun badan. Setiap makanan mempunyai kandungan gizi yang berbeda. Protein, karbohidrat, lemak, dan lain-lain adalah salah satu contoh gizi yang akan kita dapatkan dari makanan.
Setiap jenis gizi yang kita dapatkan mempunyai fungsi yang berbeda. Karbohidrat merupakan sumber tenaga yang kita dapatkan sehari-hari. Salah satu contoh makanan yang mengandung karbohidrat adalah nasi. Protein digunakan oleh tubuh untuk membantu pertumbuhan kita, baik otak maupun tubuh kita. Lemak digunakan oleh tubuh kita sebagai cadangan makanan dan sebagai cadangan energi. Lemak akan digunakan saat tubuh kekurangan karbohidrat, dan lemak akan memecah menjadi glukosa yang sangat berguna bagi tubuh kita saat kita membutuhkan energi.
Akhir-akhir ini banyak muncul di berbagai mass media bahwa harga beras mengalami kenaikan cukup tinggi sehingga untuk masyarakat yang berpenghasilan rendah tidak mampu untuk membeli beras sebagai bahan pangan pokok tersebut. Kenaikan harga beras tersebut antara lain disebabkan kurangnya pasokan akibat mundurnya musim tanam dan pertumbuhan penduduk tidak seimbang dengan pertumbuhan produksi padi. Kebutuhan beras sebagai bahan pangan pokok terus mengalami peningkatan sejalan dengan pertambahan penduduk, disamping disamping ada masyarakat yang semula makanan pokoknya non beras beralih ke beras. Di lain pihak, lahan sawah terus mengalami penurunan sejalan terjadinya alih fungsi lahan ke non pertanian seperti untuk perumahan dan industri.
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras sebagai sumber karbohidrat perlu dicari bahan pangan lain sebagai sumber karbohidrat alternatif.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah yang dapat penulis rumuskan dari latar belakang diatas yaitu:
1. Apa saja yang termasuk makanan pokok orang Indonesia ?
2. Apakah Beras merupakan sumber protein ?
3. Apa saja sumber makanan pengganti beras ?
4. Bagaimanakah ketersediaan beras di Indonesia ?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini yaitu:
1.3.1 Tujuan Umum
1. Untuk mengetahui macam-macam makanan pokok.
2. Untuk mengetahui tentang sumber pengganti beras.
3. Untuk mengetahui tentang ketersediaan beras di Indonesia.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus dari penulisan makalah ini tidak lain adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah kuliah Dasar-dasar & Proses Pembelajaran Biologi II, selain itu guna menambah pengetahuan mengenai makanan pokok orang Indonesia dan sumber-sumber pengganti makanan pokok yang tersedia di kepulauan Indonesia..





BAB II
PEMBAHASAN

2.1 MACAM - MACAM MAKANAN POKOK
Makanan pokok adalah makanan yang menjadi gizi dasar. Makanan pokok biasanya tidak menyediakan keseluruhan nutrisi yang dibutuhkan tubuh, oleh karenanya biasanya makanan pokok dilengkapi dengan lauk pauk untuk mencukupkan kebutuhan nutrisi seseorang dan mencegah kekurangan gizi. Makanan pokok berbeda-beda sesuai dengan keadaan tempat dan budaya, tetapi biasanya berasal dari tanaman, baik dari serealia seperti beras, gandum, jagung, maupun umbi-umbian seperti kentang, ubi jalar, talas dan singkong. Roti, mi (atau pasta), nasi, bubur, dan sagu dibuat dari sumber-sumber tersebut.
Kami pemakan nasi bukan pemakan gandum dan produk olahannya, atau yang lainnya. Itu karena saya lahir dan dibesarkan di Pulau Dewi Sri di Indonesia. Jadi, makanan pokok kebanyakan orang di lingkungan kami adalah nasi dari beras yang diolah dari gabah yang dipanen dari tanaman padi. Di tempat berbeda bisa jadi makanan pokoknya berbeda pula. Di beberapa daerah kering di Jawa dan Nusa Tenggara, ada yang menjadikan jagung sebagai makanan pokok. Ada pula yang menjadikan olahan singkong sebagai makanan pokok. Di Indonesia Timur lainnya, ada pula yang makanan pokoknya papeda -semacam bubur- yang merupakan olahan tepung sagu. Ada pula yang makan ubi sebagai makanan pokoknya.
Di belahan dunia yang lain, banyak yang menggunakan olahan gandum misalnya roti atau mie sebagai makanan pokok. Di beberapa wilayah di Afrika, makanan pokoknya adalah fufu dan akpu, yang merupakan olahan dari singkong. Ada pula yang memakan semovita dari tepung beras.
Untuk lebih mengetahui tentang hasil petanian tanaman pangan yang merupakan makanan pokok orang Indonesia, kita akan membahasnya satu persatu, yaitu;
2.1.1 BERAS
Padi (Oryza sativa sp.), adalah tanaman yang berasal dari Bangladesh. Dari tanaman padi dihasilkan beras, yang merupakan bahan makanan pokok sebagian besar rakyat Indonesia. Padi dapat tumbuh dengan baik di daerah panas dengan curah hujan yang tinggi dengan pengairan yang cukup. Daerah utama penghasil padi di Indonesia adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara.

2.1.2 JAGUNG
Jagung (Zea mays), adalah jenis tanaman padi-padian yang berasal dari Amerika. Tanaman jagung sampai ke Indonesia dibawa oleh orang-orang Spanyol. Jagung dapat tumbuh di daerah tropis maupun daerah sub tropis. Jagung ditanam di ladang, tegalan dan sawah pada musim kemarau. Kadang-kadang jagung juga ditanam sebagai tanaman sela/tumpangsari di lahan perkebunan. Jagung tumbuh sangat baik di daerah berketinggian 0-1500 meter di atas permukaan air laut.
Jagung merupakan bahan makanan pokok bagi sebahagian penduduk Nusa Tenggara Timur, Madura, dan Minahasa. Biji jagung yang sudah masak berwarna kuning atau ungu. Butir jagung dapat dibuat tepung atau pati jagung, yang disebut Maizena. Tongkolnya yang sangat muda dapat dimakan sebagai lalap, sayur, atau acar.
Tanaman jagung yang masih muda juga sangat baik untuk makanan ternak. Daun pelindung tongkol yang sudah kering (kelobot) dapat digunakan untuk penggulung rokok atau pembungkus dodol.
2.1.3 KETELA POHON
Ketela pohon (Manihot asculenta atau Manihot utilissima), disebut juga ubi kayu atau singkong. Tanaman ini berasal dari Amerika Selatan. Ketela pohon banyak ditanam di lahan kering dengan jenis tanah yang gembur. Tanaman ini dapat hidup di daerah-daerah dengan musim kering yang lunak hingga sangat kering. Pada dataran rendah, ketela pohon banyak ditanam pada ketinggian 0-4500 meter di atas permukaan laut. Ketela pohon dimanfaatkan sebagai makanan pokok pengganti beras atau jagung, khususnya bagi penduduk di Kabupaten Gunung Kidul (Daerah Istimewa Yogyakarta).
Umbinya dapat dibuat tepung tapioka atau gaplek yang sebagian besar di ekspor ke Jepang. Selain itu umbinya dapat dibuat tape melalui proses peragian, tape di Jawa Barat dikenal dengan nama peuyeum. Daunnya yang masih muda dapat dimakan sebagai lalap dengan direbus terlebih dahulu, atau dijadikan sayur. Daerah penghasil ketela pohon di Indonesia adalah Jawa Timur, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara.

2.1.4 UBI JALAR
Ubi jalar (Ipomoea batatas L.), adalah jenis tanaman semak yang berasal dari Hindia Barat. Tanaman ini sampai ke Indonesia dibawa oleh orang-orang Spanyol. Ubi jalar cocok ditanam di daerah ketinggian 0-2000 meter di atas permukaan air laut. Ubi jalar disebut juga ketela rambat. Umbinya dapat dimakan dan merupakan makanan pokok penduduk Papua Bagian Tengah. Bagi penduduk daerah lain di Indonesia, ubi jalar merupakan tambahan. Daunnya juga dapat dimakan sebagai sayuran.
Daerah utama penghasil ubi jalar di Indonesia adalah Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan.
Ubi jalar merupakan komoditas penting di Papua karena merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk di pedalaman, terutama di daerah pegunungan, selain sebagai makanan babi. Di beberapa lokasi, peran ubi jalar sangat strategis, baik dari aspek ekologi maupun sosial ekonomi. Hal ini karena peluang untuk mendapatkan komoditas substitusi ubi jalar sebagai bahan pangan relatif kecil. Selain ubi jalar, secara ekologis sangat sedikit tanaman pangan yang mampu beradaptasi dan berproduksi dengan baik dengan teknologi sederhana pada ketinggian 1.650−2.700 m dpl., seperti di kawasan lembah Baliem, Kabupaten Jayawijaya. Ubi jalar dapat tumbuh pada dataran rendah maupun dataran tinggi. Namun, hasil ubi jalar di dataran rendah (< 500 m dpl.) lebih tinggi daripada di dataran tinggi (> 900 m dpl.). Suhu udara yang dingin di dataran tinggi menyebabkan pertumbuhan tanaman ubi jalar kurang optimal.
Produksi ubi jalar di Papua dari tahun ke tahun cenderung menurun. Penurunan tersebut antara lain disebabkan makin berkurangnya luas panen. Namun, produksi tersebut masih jauh di atas tingkat konsumsi. Pada tahun 2007, produksi ubi jalar di Papua mencapai 101.710 ton, sementara konsumsi total hanya 31.125 ton dan konsumsi per kapita 38,36 g/hari. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan ubi jalar masyarakat Papua tercukupi oleh produksi lokal, dan bahkan lebih. Kelebihan produksi tersebut menjadi suatu tantangan untuk memanfaatkan ubi jalar menjadi aneka produk olahan yang memiliki daya saing tinggi. Pengembangan ubi jalar khususnya di Kabupaten Jayawijaya dibedakan antara untuk bahan pangan manusia dan pakan babi. Varietas ubi jalar untuk bahan pangan dibudidayakan dengan cara khusus, serta memiliki kadar pati tinggi dan rasa manis. Varietas dengan rasa umbi kurang enak dan kandungan seratnya tinggi, serta umbi yang kecil atau rusak digunakan untuk pakan babi. Terdapat puluhan bahkan ratusan jenis ubi jalar yang sesuai untuk konsumsi manusia dan dibudidayakan berdasarkan kondisi agroekosistem setempat.
2.1.5 TALAS
Talas (Colocasia esculenta), Talas merupakan makanan pokok penting di daerah Ayamaru dan Biak Barat. Rochani (1996) melaporkan, 64% masyarakat Ayamaru mengonsumsi talas sebagai makanan pokok. Meskipun masyarakat di daerah lain di Papua juga mengonsumsi talas, sifatnya hanya sebagai pangan alternatif. Beberapa puluh tahun yang lalu tanaman ini dominan di daerah perbatasan Indonesia-Papua Nugini, namun kini kedudukan talas mulai tergeser oleh ubi jalar. Produksi talas di Papua menurun drastis dari 3.739 ton pada tahun 2003 menjadi 689 ton pada tahun 2005. Namun, data Badan Bimas dan Ketahanan Pangan Provinsi Papua menunjukkan, pada tahun 2007 produksi talas Provinsi Papua mancapai 7.014 ton dengan total konsumsi 5.022 ton.
Hal ini menunjukkan bahwa produksi talas mencukupi kebutuhan untuk konsumsi masyarakat. Tanaman talas tersebar pada berbagai agroekosistem, mulai dari dataran rendah sampai tinggi dan dari lahan basah sampai lahan kering. Berdasarkan kesesuaian agroekosistem, dijumpai beragam kultivar talas. Genotipe talas di Papua sangat beragam dalam sifat morfologi, umur, dan potensi hasil. Pada umumnya sifat-sifat liar talas masih jelas terlihat bila dibandingkan dengan jenis talas yang diusahakan di Jawa. Beberapa kultivar berdaya hasil tinggi tersebut merupakan suatu potensi untuk mendapatkan verietas yang berdaya hasil tinggi dan memenuhi preferensi konsumen. Pada setiap agroekosistem di Papua ditemukan beberapa jenis talas dengan Bentuk daun Segitiga. Posisi daun Tegak, ujung Tegak, ujung menghadap ke bawah, warna helai daun Hijau kekuningan. Hijau Warna persimpangan petiol hijau ungu kuning warna utama tulang daun hijau kuning putih, pola tulang daun bentuk Y. Lapisan lilin daun tinggi, warna pelepah daun ungu kuning kehijauan.
2.1.6 SAGU
Sagu (Metroxylon sp.), merupakan bahan pangan utama bagi masyarakat Papua yang tinggal di daerah pesisir. Daerah pesisir yang berair atau rawa merupakan tempat tumbuh berbagai jenis sagu. Pohon sagu di Papua tumbuh secara alami tanpa tindakan budi daya dari penduduk setempat. Di Papua ditemukan 20 jenis sagu dan dapat dibagi ke dalam empat kelompok genetik. Terlepas dari perbedaan jumlah aksesi sagu yang dilaporkan, di Papua ditemukan berbagai jenis sagu dengan potensi hasil yang berbeda-beda. Penyebaran pohon sagu terbesar di Papua, baik jenis maupun luasannya, terdapat di Sentani, Kabupaten Jayapura. Hutan sagu umumnya tumbuh secara alami. Namun sebagian petani mulai menyadari pentingnya pelestarian hutan sagu sehingga mereka mulai melakukan kegiatan budi daya. Areal sagu di Provinsi Papua termasuk Papua Barat yang telah dimanfaatkan baru sekitar 14.000 ha, atau 0,34% dari potensi yang ada.
Dengan demikian, pemanfaatan sagu sebagai sumber pangan alternatif bagi penduduk maupun untuk kebutuhan industri sangat menjanjikan. Produksi sagu di Papua jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan untuk konsumsi. Salah satu wilayah pusat pertumbuhan sagu alam di Papua terdapat di sekitar Danau Sentani Kabupaten Jayapura, dengan luas 4.000−5.000 ha. Pada wilayah ini ditemukan beberapa aksesi sagu yang memiliki produktivitas tinggi. Miyazaki (2004) melaporkan, beberapa aksesi sagu di Sentani menghasilkan pati cukup tinggi.
Sagu dikonsumsi sebagai menu sehari-hari dalam bentuk papeda basah maupun papeda kering/bungkus. Papeda basah adalah gelatin sagu dan dikonsumsi dengan dicampur kuah ikan dan sayuran. Papeda kering/bungkus adalah gelatin sagu yang dibungkus dengan daun fotofe (nama lokal), yaitu sejenis pisang-pisangan. Pembuatan papeda kering/bungkus biasanya dilakukan apabila penduduk hendak bepergian seperti berburu, karena lebih tahan disimpan dibandingkan dengan papeda basah. Pemanfaatan pangan lokal Papua sebagai sumber pangan alternatif disajikan pada. Pembuatan gelatin sagu dilakukan dengan mencampur tepung sagu dengan air mendidih sambil diaduk. Perbandingan antara tepung sagu dan air mendidih adalah 1 : 2, yaitu 1 kg pati sagu ditambahkan dengan air mendidih 2 liter. Dalam skala industri rumah tangga, terutama di perkotaan, sagu diolah menjadi aneka kue kering.

2.1.7 GEMBILI
Gembili (Dioscorea sp.), berbagai jenis gembili ditemukan di kebun petani di Papua. Spesies yang paling banyak adalah D. alata dan D. esculenta. Gembili biasanya ditanam dalam jumlah terbatas, meskipun penduduk sangat menyukainya. Hal ini disebabkan ketersediaan bibit terbatas dan umur panennya agak lama, yaitu 7−9 bulan. Gembili dikonsumsi dalam bentuk gembili rebus atau bakar, meskipun dapat pula diolah menjadi berbagai kue atau kolak gembili.
(Gambar . Pertumbuhan gembili di Merauke, Papua.)

Gembili belum dikembangkan sebagai industri rumah tangga, karena selain produksinya terbatas, pengetahuan petani dalam penganekaragaman produk gembili masih rendah.
Tanaman gembili tersebar di beberapa wilayah Papua, terutama di Merauke. Suku Kanum di Merauke sebagai salah satu sub suku Marind yang mendiami Taman Nasional Wasur mengonsumsi gembili secara turun-temurun sebagai makanan pokok. Namun saat musim paceklik atau belum memasuki masa panen gembili, penduduk melakukan kegiatan berburu dan sebagai pangan alternatifnya adalah sagu dan pisang. Sistem budi daya gembili sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat suku Kanum karena mempunyai nilai budaya yang tinggi, yaitu sebagai mas kawin serta pelengkap pada upacara adat. Tanpa gembili, suku Kanum tidak dapat melaksanakan pernikahan.
Dengan demikian, budi daya gembili bagi suku Kanum merupakan suatu keharusan. Tingginya perhatian masyarakat suku Kanum terhadap gembili merupakan peluang sekaligus tantangan untuk mengembangkan gembili di masa mendatang. Masyarakat suku Kanum membudidayakan berbagai kultivar gembili, menamakan kultivar gembili berdasarkan karakter morfologi umbi. Sistem budi daya bergantung pada jenis gembili yang ditanam. Umumnya gembili dibudidayakan dengan menggunakan tajar dari bambu dengan tinggi 2,50−4 m. Untuk menjamin keberlanjutan konsumsi, gembili yang dipanen disimpan di suatu tempat dalam rumah kecil yang diberi nama keter meng. Rumah kecil tersebut terbuat dari bambu dan beratapkan kulit kayu bus (Melaleuca sp.) agar gembili terhindar dari sinar matahari langsung.

2.1.8 JAWAWUT
Jawawut (Setaria italica sp.) Jawawut merupakan sejenis tanaman serealia yang banyak dijumpai di Biak Numfor, dengan nama lokal pokem atau gandum Papua. Tanaman ini meliputi lima genera, yaitu Panicum, Setaria, Echinochloa, Pennisetum, dan Paspalum, semuanya termasuk dalam famili Paniceae. Jenis jawawut yang ditemukan di Papua termasuk spesies Setaria italica (pokem ekor macan) dan Pennicetum glaucum (pokem ekor kucing).
(Gambar. Pertumbuhan jawawut pada lahan kering di Biak Numfor, Papua.)

Dari spesies tersebut ditemukan berbagai warna. Menurut masyarakat Biak Numfor dalam Rumbrawer (2003), ada lima jenis jawawut yang dijumpai di Biak Numfor, yaitu pokem vesyek (jawawut cokelat), pokem verik (jawawut merah), pokem vepyoper (jawawut putih), pokem vepaisem (jawawut hitam), dan pokem venanyar (jawawut kuning).
Bagi penduduk Biak Numfor, jawawut telah lama dimanfaatkan sebagai bahan makanan pokok dan komoditas adat. Rumbrawer (2003) menyatakan bahwa orang Numfor telah berabad-abad menggantungkan hidupnya pada budi daya jawawut sebagai pangan pokok selain umbi-umbian dan kacang hijau. Selanjutnya dinyatakan bahwa orang Numfor adalah penanam, penghasil, distributor, dan konsumen jawawut maupun kacang hijau sejak dahulu kala. Jawawut atau gandum Papua memiliki keunggulan dibandingkan dengan jenis gandum lainnya. Jawawut mengandung karbohidrat lebih tinggi, yakni 74,16% dibanding gandum (Triticum sp.) yaitu 69%). Ini menunjukkan bahwa jawawut berpotensi sebagai sumber pangan fungsional, terutama sebagai sumber energi.
Jawawut berpotensi untuk dikembangkan dalam rangka memperkuat ketahanan pangan sebagai sumber karbohidrat pengganti beras. Jawawut memiliki keunggulan dibandingkan dengan tanaman sumber karbohidrat lain, seperti dapat tumbuh pada hampir semua jenis tanah termasuk tanah kurang subur, tahan kekeringan, mudah dibudidayakan, umur panen pendek, dan kegunaannya beragam. Petani umumnya menanam jawawut dengan sistem tambur benih secara langsung setelah lahan dibakar. Simanjuntak dan Ondikleuw (2004) melaporkan, hasil jawawut dengan cara tanam tambur benih secara langsung tanpa pemupukan lebih rendah dibandingkan dengan cara tanam pindah atau tambur benih secara larikan.


2.2 BERAS MERUPAKAN SUMBER PROTEIN

Sebagai bahan pangan pokok bagi sekitar 90 persen penduduk Indonesia, beras menyumbang antara 40-80 persen protein. Bagaimana dengan zat gizi lain?
Gabah tersusun dari 15-30 persen kulit luar (sekam), 4-5 persen kulit ari, 12-14 persen katul, 65-67 persen endosperm dan 2-3 persen lembaga. Lapisan katul paling banyak mengandung vitamin B1. Selain itu, katul juga mengandung protein, lemak, vitamin B2 dan niasin. Endosperm merupakan bagian utama butir beras. Komposisi utamanya adalah pati. Selain itu endosperm mengandung protein cukup banyak, serta selulosa, mineral dan vitamin dalam jumlah kecil.
Dalam pengertian sehari-hari yang dimaksud beras adalah gabah yang bagian kulitnya sudah dibuang dengan cara digiling dan disosoh menggunakan alat pengupas dan penggiling (huller) serta penyosoh (polisher). Gabah yang hanya terkupas bagian kulit luarnya (sekam), disebut beras pecah kulit (brown rice). Sedangkan beras pecah kulit yang seluruh atau sebagian dari kulit arinya telah dipisahkan dalam proses penyosohan, disebut beras giling (milled rice). Beras yang biasa dikonsumsi atau dijual di pasar adalah dalam bentuk beras giling.
Tujuan penggilingan dan penyosohan beras adalah untuk: (1). memisahkan sekam, kulit ari, katul dan lembaga dari endosperm beras, (2). meningkatkan derajat putih dan kilap beras, (3). menghilangkan kotoran dan benda asing, serta (4). sedapat mungkin meminimalisir terjadinya beras patah pada produk akhir. Tinggi-rendahnya tingkat penyosohan menentukan tingkat kehilangan zat-zat gizi. Proses penggilingan dan penyosohan yang baik akan menghasilkan butiran beras utuh (beras kepala) yang maksimal dan beras patah yang minimal. Proses penyosohan beras pecah kulit menghasilkan beras giling, dedak dan bekatul. Sebagian protein, lemak, vitamin dan mineral akan terbawa dalam dedak, sehingga kadar komponen-komponen tersebut dalam beras giling menurun.
Beras giling yang diperoleh berwarna putih karena telah terbebas dari bagian dedaknya yang berwarna coklat. Bagian dedak padi sekitar 5-7 persen dari berat beras pecah kulit. Makin tinggi derajat penyosohan dilakukan makin putih warna beras giling yang dihasilkan, namun makin miskin zat-zat gizi.

Komposisi Gizi :
Komposisi kimia beras berbeda-beda tergantung pada varietas dan cara pengolahannya. Selain sebagai sumber energi dan protein, beras juga mengandung berbagai unsur mineral dan vitamin. Sebagian besar karbohidrat beras adalah pati (85-90 persen), sebagian kecil pentosan, selulosa, hemiselulosa dan gula. Dengan demikian sifat fisikokimia beras terutama ditentukan oleh sifat fisikokimia patinya. Protein adalah komponen kedua terbesar beras setelah pati. Sebagian besar (80 persen) protein beras merupakan fraksi tidak larut dalam air, yang disebut protein glutelin. Sebagai bahan makanan pokok di Indonesia, beras dalam menu makanan masyarakat menyumbang sedikitnya 45 perse protein.
Beras pecah kulit rata-rata mengandung 8 persen protein, sedangkan beras giling mengandung 7 persen. Dibanding biji-bijian lainnya, kualitas protein beras lebih baik karena kandungan lisinnya lebih tinggi. Walaupun demikian lisin tetap merupakan asam amino pembatas yang utama (terkecil jumlahnya) dalam beras. Kandungan lemak beras pecah kulit adalah 1,9 persen, sedangkan pada beras giling hanya 0,7 persen. Itu berarti sekitar 80 persen lemak terdapat dalam dedak dan bekatul, yang terpisah dari beras giling saat penyosohan. Ditinjau dari segi keawetan beras, hal ini menguntungkan karena lemak mudah teroksidasi dan mengakibatkan bau tengik. Proses penyosohan juga mengurangi kadar mineral pada beras giling. Sebagian besar mineral terdapat pada bagian dedak dan hanya sekitar 28 persen yang tertinggal pada beras giling. Komposisi mineral bervariasi tergantung dari kondisi tanah dimana padi ditanam. Unsur mineral utama adalah fosfor, kalsium, magnesium dan besi.
Beras pecah kulit mengandung vitamin lebih besar daripada beras giling. Vitamin terkonsentrasi pada lapisan bekatul dan lembaga. Penyosohan menurunkan dengan drastis kadar vitamin B komplek sampai 50 persen atau lebih. Beras mengandung vitamin C dan D dalam jumlah yang sangat kecil ayau tidak sama sekali. Pulen da Pera sebagian besar butir beras terdiri dari karbohidrat jenis pati. Hampir 90 persen berat kering beras adalah pati yang terdapat dalam bentuk granula. Pati beras terbentuk oleh dua jenis molekul polisakarida, yang masing-masing merupakan polimer dari glukosa. Kedua molekul pembentuk pati tersebut adalah amilosa dan amilopektin. Citarasa dan mutu masak beras terutama ditentukan oleh kadar amilosa dan amilopektinnya. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras dibagi menjadi empat golongan, yaitu ketan (2-9 persen), beras beramilosa rendah (9-20 persen), beras beramilosa sedang (20-25 persen) dan beras beramilosa tinggi (25-33 persen).


2.3 SUMBER MAKANAN PENGGANTI BERAS
Kebutuhan beras sebagai bahan pangan pokok terus mengalami peningkatan sejalan dengan pertambahan penduduk, disamping disamping ada masyarakat yang semula makanan pokoknya non beras beralih ke beras. Di lain pihak, lahan sawah terus mengalami penurunan sejalan terjadinya alih fungsi lahan ke non pertanian seperti untuk perumahan dan industri.
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras sebagai sumber karbohidrat perlu dicari bahan pangan lain sebagai sumber karbohidrat alternatif. Pisang sebagai salah satu komoditas yang dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat alternatif karena memiliki kandungan karbohidrat dan kalori yang cukup tinggi.
2.3.1. PISANG
Untuk mengurangi ketergantungan terhadap beras sebagai sumber karbohidrat perlu dicari bahan pangan lain sebagai sumber karbohidrat alternatif. Pisang sebagai salah satu komoditas yang dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat alternatif karena memiliki kandungan karbohidrat dan kalori yang cukup tinggi. Kandungan gizi yang terdapat dalam setiap 100 gr buah pisang terdiri dari kalori 115 kalori, protein 1,2 gr, lemak 0,4 gr, karbohidrat 26,8 gr, serat 0,4 gr, kalsium 11 mg, posfor 43 mg, besi 1,2 mg, vitamin B 0,1 mg, vitamin C 2 mg, dan air 70,7 gr. Dengan komposisi tersebut, pisang dapat digunakan sebagai bahan pangan alternatif pengganti beras khususnya di daerah-daerah yang sering mengalami rawan pangan. Di beberapa daerah masyarakat mengkonsumsi pisang sebagai pengganti makanan pokok seperti di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku.
Disamping itu pisang memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan komoditas lain yaitu :
1. Pisang dapat diusahakan pada berbagai type agroekosistem yang tersebar di seluruh nusantara.
2. Permintaan pasar cukup besar dan produksinya tersedia merata sepanjang tahun.
3. Memiliki bermacam varietas dengan berbagai kecocokan penggunaan.
4. Usahatani pisang mampu memberikan hasil waktu yang relatif singkat (1 – 2 tahun).
Disamping itu juga dapat dimanfaatkan sebagai tanaman penghijauan dan konservasi lahan karena tanaman pisang sangat baik dalam menahan air. Pisang sebagai salah satu komoditas unggulan saat ini masih tetap merupakan kontributor utama (34,5%) terhadap produksi buah nasional. Sejak tahun 2002 – 2006 produksi pisang cenderung mengalami peningkatan dengan rata-rata 4,3% pertahun. Produksi pisang pada tahun 2002 sebesar 4.384.384 ton naik menjadi 5.321.538 ton pada tahun 2006 (angka prognosa) dengan produktivitas dari 58,65 ton/ha menjadi 49,45 ton/ha.
Dengan cakupan sebaran sentar produksi yang sangat luas, maka lahan yang belum dimanfaatkan dan dapat digunakan sebagai areal penumbuhan sentra produksi pisang masih tersedia sangat luas. Tujuannya, yaitu; mengembangkan pisang sebagai sumber karbohidrat alternatif bagi keluarga dalam rangka diversifikasi pangan disamping sebagai sumber vitamin, terutama vitamin A dan C, mineral, kalsium dan zat mikro lainnya yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia.
2.3.2. SUKUN
Sukun (Artocarpus altilis), ditengah kelangkaan pangan dewasa ini, maka buah sukun dapat merupakan alternatif sumber karbohidrat, disamping itu salah satu komoditas buah yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi karena dapat dijual dalam bentuk segar maupun olahan sebagai alternatif pangan pengganti beras. Pada daerah tertentu umumnya tanaman sukun ditanam pada lahan-lahan pekarangan rumah dengan pemilikan pohon antara 1-5 pohon per keluarga.
Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk Indonesia, maka permintaan terhadap pangan terutama beras, terus meningkat. Padahal sebagaimana dimaklumi upaya peningkatan produksi beras di tanah air tidak mudah untuk dilakukan karena sudah mengalami kejenuhan. Oleh karena itu, perlu adanya terobosan mencari bahan pangan alternatif pengganti beras. Salah satu bahan pangan yang direkomendasikan sebagai subsitusi beras adalah buah sukun karena mempunyai kandungan karbohidrat yang cukup tinggi.
Berdasarkan penelitian diketahui bahwa dari setiap 100 gram buah sukun segar mengandung 27,12 gram karbohidrat, 108 kalori, 17 mg kalsium, 29 mg vitamin-C, dan 490 mg kalium. Sedangkan dari setiap 100 gram sukun tua yang diolah menjadi tepung bisa menghasilkan energi sebanyak 302 kalori dan karbohidrat 78,9 gram. Dari kandungan kalori dan karbohidrat yang dihasilkan mendekati kandungan yang dimiliki beras yaitu 360 kalori dengan karbohidrat 78,9 gram.
. Sentra produksi sukun terbesar adalah Propinsi Jawa Barat sebesar 14.252 ton, Jawa Tengah sebanyak 13.063 ton, , Jawa Timur sebesar 6.400 ton, D.I Yogyakarta sebesar 6.577 ton, Kalimantan Timur sebesar 5.744 ton, Sumatera Selatan 4.321 ton, Lampung sebesar 3.458 ton, Sulawesi Selatan 3.266 ton, Nusa Tenggara Timur sebesar 1.156 ton, dan Jambi sebesar 1.921 ton.
Prospek agribisnis sukun masa mendatang sangat menjanjikan karena tanaman sukun tidak memerlukan pemeliharaan secara khusus dan dapat tumbuh subur pada kondisi ekologi yang beragam. Tanaman sukun dapat tumbuh pada pada dataran rendah sampai ketinggian 600 m dpl, tumbuh baik pada tanah liat berpasir. Tanaman sukun berproduksi setelah berumur 3–5 tahun setelah ditanam, dan dapat dipanen dua kali setahun. Panen pertama disebut dengan panen raya terjadi pada musim hujan yang jatuh pada bulan Januari-Februari, sedangkan panen kedua atau panen susulan pada musim kemarau jatuh pada bulan Juni-Juli.
Sejauh ini sukun lebih banyak dikonsumsi dalam bentuk pangan goreng-gorengan (keripik) namun, melihat potensi dan peluang pengembangan sukun yang demikian besar serta banyaknya manfaat yang dapat diperoleh dari tanaman dan buah sukun, maka sudah saatnya dicanangkan gerakan pemanfaatan buah sukun sebagai pengganti beras. Salah satu upaya yang dapat kita lakukan adalah dengan mengembangkan teknologi pengolahan pangan dari sukun, sehingga dapat menyajikan buah sukun dan hasil olahannya dalam menu makanan sehari – hari.



2.3.3 UBI ALABIO
Ubi Alabio merupakan sumber karbohidrat potensial yang dapat dijadikan bahan pangan alternatif untuk mengurangi konsumsi beras terus meningkat. Di samping sebagai bahan pokok, Ubi Alabio juga berpotensi dijadikan sebagai bahan industri rumah tangga (industri kecil) hingga industri besar. Alabio mungkin lebih dikenal sebagai nama ternak itik. Namun di Kalimantan Selatan, Alabio merupakan nama sejenis ubi lahan rawa. Masyarakat awam mengenalnya dengan sebutan ubi kelapa (Dioscorea alata L). Ubi Alabio, tanaman perdu merambat hingga mencapai 3-10 m, memiliki bentuk bulat dan bercabang, serta berwarna merah, ungu atau putih.
Biasanya masyarakat mengkonsumsi Ubi Alabio dengan cara dikukus atau direbus, dan digoreng. Ada pula yng mengolahnya menjadi sejenis makanan ala pizza, yang disebut “lempeng”. Umbi yang berbentuk bulat dan bercabang ini memiliki warna merah, ungu atau putih. Sebagai bahan pangan, ubi alabio komposisinya cukup memadai. Selain sebagai sumber karbohidrat, juga mengandung Pati, protein, serat, bahkan gula.
Disamping dapat dikonsumsi melalui cara direbus dan digoreng, Ubi Alabio dapat diolah menjadi kripik. Tidak jauh berbeda seperti pembuatan kripik lainnya. Pembuatan kripik ini dapat dilakukan dengan sederhana, yaitu dikupas, diiris dan digoreng. Dapat juga setelah diiris dikukus lima menit, kemudian dijemur lalu dikeringanginkan agar tahan disimpan, baru kemudian digoreng. Untuk produk setengah jadi, Ubi Alabio dapat diolah menjadi sawut, berbentuk serpihan kering dengan kadar air sekitar 10%, sehingga tahan disimpan. Penggunaannya mudah. Cukup disiram dengan air panas, diaduk, kemudian dikukus sekitar 15 menit sampai lunak. Sawut dapat dikonsumsi pula dengan sayur dan lauk, atau dicampur dengan larutan gula merah. Sedangkan untuk pembuatan tepung adalah dengan cara menggiling sawut ubi yang berbentuk serpihan kering. Ubi ini juga berpotensi sebagai bahan baku industri seperti pati, roti, dan alkohol. Bahkan ubi alabio merah dapat dibuat sebagai bahan baku es krim.
Ubi Alabio dibudidayakan di lahan lebak dengan pola monokultur atau dapat ditumpangsarikan dengan tanaman jagung, cabe dan terong. Jenis ubi ini menuntut lahan yang gembur dan tidak terendam dengan air. Sehingga sebaiknya penanamannya dilakukan pada guludan atau surjan dan disaat air surut di musim kemarau. Bibit ubi berasal dari ubi yang dipotong-potong dari semua bagian yaitu pangkal, tengah dan ujung. Makin besar potongan, maka makin besar pula hasil ubi. Bibit disemai pada persemaian dan jika telah muncul tunas, baru ditanam di lahan. Umur panen sejak usia tanam adalah 5 bulan, ketika daun dan batang sudah mengering. Biasanya musim tanam antara bulan Mei-Juli dan panen pada bulan Oktober-Desember. Ubi Alabio sampai saat ini masih dibudidayakan secara tradisional sehingga hasilnya masih tergolong rendah yaitu berkisar 12-28 ton/ha. Padahal bila dibudidayakan dengan menerapkan teknologi usahatani, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit yang tepat, potensi hasil dapat mencapai 40-50 ton/ha.
2.3.4 UBI JALAR
Makanan pokok untuk masyarakat idealnya bersumber dari bahan baku lokal, agar biaya transportasinya dapat ditekan. Saat ini, masyarakat Indonesia yang hidup di daerah tropis dimana gandum sulit bisa tumbuh, menjadi pemakan mie dari gandum terbesar setelah RRC. Sebenarnya begitu banyak jenis umbi-umbian lainnya selain gandum yang bisa tumbuh dengan baik di Indonesia. Ubijalar merupakan salah satu dari 20 jenis pangan yang berfungsi sebagai sumber karbohidrat. Ubi jalar bisa menjadi salah satu alternatif untuk pengganti beras sebagai sumber karbohidrat.
Pilihan untuk mensosialisasikan ubi jalar, bukan pilihan tanpa alasan. (1) mempunyai produktivitas yang tinggi, sehingga menguntungkan untuk diusahakan. (2) mengandung zat gizi yang berpengaruh positif pada kesehatan (prebiotik, serat makanan dan antioksidan), serta (3) potensi penggunaannya cukup luas dan cocok untuk sumber alternatif pengganti beras. Produktivitas ubi jalar cukup tinggi dibandingkan dengan beras maupun ubi kayu. Ubi jalar dengan masa panen 4 bulan dapat berproduksi lebih dari 30 ton/ha, tergantung dari bibit, sifat tanah dan pemeliharaannya. Walaupun saat ini rata-rata produktivitas ubi jalar nasional baru mencapai 12 ton/ ha. Tetapi masih lebih besar, jika kita bandingkan dengan produktivitas gabah (+/-4.5 ton/ha) atau ubi kayu (+/-8 ton/ha), padahal masa panen lebih lama dari masa panen ubi jalar.
Penelitian mengenai ubi jalar pun kini semakin banyak dan berkembang, karena mempunyai kandungan gizi yang bermanfaat bagi kesehatan. Karbohidrat yang dikandung ubi jalar masuk dalam klasifikasi Low Glycemix Index (LGI, 54), artinya komoditi ini sangat cocok.
2.3.5 JAGUNG
Jagung (Zea mays) merupakan salah satu serealia yang strategis dan bernilai ekonomis serta mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat dan protein setelah beras (Purwanto,2006). Senada dengan hal tersebut Zubachtirodin et al (2006) juga menambahkan dalam perekonomian nasional, jagung penyumbang terbesar kedua setelah padi dalam subsektor tanaman pangan. Jagung juga merupakan tanaman yang relatif lebih tahan terhadap kekurangan air daripada padi sehingga penanamannya dapat dilakukan setelah penanaman padi, yaitu pada musim kemarau.
Makanan pokok alternantif warga Madura, Nusa Tenggara bahkan juga warga Amerika Serikat ini juga kaya akan gizi. Tak heran bonggol berambut merah ini juga diminati anak-anak. Kandungan gizi dalam tiap biji jagung adalah: energi 150 kal, protein 1,6 g, lemak 0,6 g, kalsium 11 mg, dan karbohidrat 11,40 g.
Jagung memiliki potensi besar sebagai alternatif makanan pokok selain beras. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan sumberdaya terutama lahan irigasi yang menjadi permasalahan pada produksi beras, relatif tidak terjadi pada jagung. Jagung dapat ditanam setelah masa penanaman padi yaitu pada musim kemarau sehingga produksi makanan pokok tetap berlangsung. Selain itu bila dilihat dari kandungan nutrisinya, jagung juga merupakan sumber karbohidrat yang baik.
Diversifikasi makanan pokok dengan jagung sebagai alternatif selain beras, harus diikuti dengan perancangan olahan jagung untuk meningkatkan penerimaan konsumen. Produk olahan yang sekiranya dapat mencakup beberapa aspek diatas adalah beras jagung.
Nasi jagung telah lama dikenal oleh masyarakat namun karena proses preparasi dari bentuk jagung pipil hingga nasi yang lama, meliputi proses penumbukan berulang serta penjemuran, maka penerimaannya sebagai bahan pangan pokok lebih rendah daripada nasi biasa. Rasa nasi jagung, serperti halnya nasi dari beras, dipengaruhi oleh kandungan amilosa. Makin rendah kandungan amilosa, rasa nasi jagung menjadi semakin pulen. Pati jagung normal mengandung 74-76% amilopektin dan 24-26% amilosa. Dengan kadar amilosa tersebut diharapkan nasi yang terbentuk dari beras jagung masih bersifat pulen dan tidak keras saat dingin karena kadar amilosa yang tidak terlalu tinggi.
Pengolahan jagung menjadi beras jagung menciptakan alternatif makanan pokok selain beras dengan sifat organoleptis yang hampir sama, rasa yang netral, dan waktu preparasi yang sama dengan nasi dari beras. Didukung dengan keunggulan kandungan nutrisi serta keinginan masyarakat untuk mencoba mengkonsumsi makanan yang baru, beras jagung memiliki potensi yang baik sebagai alternatif makanan pokok selain beras. Dengan demikian diharapkan beras jagung dapat mensukseskan program diversifikasi pangan pemerintah dan mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap beras sehingga menciptakan swasembada pangan dan ketahanan pangan dapat terwujud.
2.3.6 KETELA POHON
Nasi Uleng sebagai Makanan Pokok; Gaplek: Pilihan Pengganti Beras yang EkonomisNasi uleng merupakan salah satu bentuk olahan tiwul dan biasa dikonsumsi di Wonogiri. Bahan dasar tiwul adalah gaplek atau ketela pohon yang dikeringkan setelah kulitnya dihilangkan. Nasi uleng harganya relatif murah sehingga membiasakan mengkonsumsi nasi uleng berarti penghematan.
Gaplek adalah makanan pokok pengganti nasi (terutama di daerah Banjarnegara-Jawa Tengah), terbuat dari ketela pohon yang diolah secara tradisional sampai terbentuk butiran-butiran kecil seperti beras, dan disimpan sebagai cadangan paceklik.
2.4 KETERSEDIAAN BERAS DI INDONESIA
Pemerintah berdalih hampir seluruh rakyat Indonesia makanan pokoknya adalah beras, maka dianggap perlu untuk melakukan campur tangan terhadap harga beras dengan menetapkan harga minimum dan sekaligus menentukan patokan harga tertinggi. Adapun tujuan dari intervensi pemerintah tersebut adalah untuk menciptakan stabilitas politik sekaligus juga stabilitas harga beras dengan dalih demi kepentingan rakyat. Tetapi sebenarnya hanya kepentingan sisi kepentingan politik.
Penolakan keras terhadap impor beras yang disampaikan oleh beberapa kalangan, termasuk : petani padi, Gubernur, DPR, HKTI dan pengamat perberasan sejak penghujung tahun 2005 lalu menunjukkan adanya empati kepada petani dan merupakan hal yang amat positif dalam upaya melindungi kekuatan nilai tukar ekonomi petani. Dari segi kualitas, dibandingkan dengan total konsumsi beras yang mencapai hampir 31 juta ton per tahun, impor 110.000 ton sebenarnya merupakan jumlah yang relatif kecil, hanya 0,36% dari total kebutuhan beras nasional. Berkaitan dengan isu impor beras ini, banyak kalangan mempertanyakan tentang program perberasan nasional. Masih perlukah Indonesia mengimpor beras, mengapa tidak memprogramkan untuk mengekspor beras ?. Bukankah padi merupakan tanaman asli wilayah tropis yang dapat diproduksi sepanjang tahun di Indonesia ? Menapa negaranegara tetangga seperti Thailand, Vietnam dan Myanmar mampu mengkespor beras sedangkan Indonesia belum.
Sementara kelemahan pertanian di Indonesia pada umumnya masih terletak pada kelemahan penanganan pascapanen. Misalnya belum adanya teknologi yang merakyat untuk melakukan penyimpanan bahan pangan. Masih langkanya industri pengolahan sehingga beras yang saat ini dapat disimpan secara tradisional dalam jangka waktu yang lama masih dianggap sebagai produk unggulan.
Semakin merosotnya lahan-lahan produktif untuk pertanian padi memang juga menjadi dilema yang serius, sementara rakyat Indonesia yang sudah telanjur enak makan beras semakin bertambah. Kurangnya perhatian pemerintah pusat dan daerah terhadap petani juga turut menjadi pemicu akan alih fungsi lahan pertanian dan pindahnya tenaga kerja ke sektor lain yang dianggap dapat menjanjikan pendapatan yang lebih besar.
Dilema bagi petani, komponen-komponen produksi beras seperti pupuk, obat-obatan, bahan bakar atau suku cadang traktor, kenaikan upah pekerja, juga menjadi rintangan besar untuk meningkatkan kesejahteraannya, ditambah lagi kurangnya subsidi terhadap petani bahkan saat ini hampir tidak ada. Sehingga, kalaupun ada petani ingin melakukan diversifikasi terhadap lahannya terbentur keterbatasan modal, apalagi bunga bank juga tinggi.
Sebenarnya ada sumber daya lain yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan kalau sebagai negara kepulauan, kita punya daerah misalnya untuk menghasilkan jagung, kita punya daerah untuk menghasilkan ubi, komoditi perkebunan dan lain sebagainya, yang semuanya sangat lemah pada penanganan pascapanen dan teknologi pendukungnya.
Data luas lahan potensial untuk pertanian sawah menurut Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat) tersedia 10 juta ha. Potensi lahan tersebut harus dimanfaatkan agar rakyat Indonesia tidak lagi menderita busung lapar dan negara harus disibukkan urusan impor beras, padahal kalau mau sebenarnya Indonesia dapat mengekspor beras. Memproduksi beras bagi kebutuhan pangan untuk 223 juta orang memang tidak cukup hanya dengan perdebatan, tetapi perlu tindakan nyata, termasuk terutama gerakan mencetak sawah baru guna memberikan kesempatan kepada petani padi Indonesia untuk dapat swasembada beras secara berkelanjutan dan untuk mengekspor beras.
Janji-janji seorang politikus yang sekarang sedang berkuasa, yang dulunya semasa kampanye akan melakukan revitalisasi sektor pertanian hanyalah mimpi belaka dan akhirnya rakyat yang sudah telanjur terpesona hanya bisa gigit jari.


BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
1. Dari permasalahan yang penulis angkat dapat disimpulkan:
1. Bahwa di dalam kita membaca buku juga harus mengerti dan memahami tentang sumber-sumber makanan pokok yang ada di alam atau khususnya yang ada di sekitar kita. Macam-macam makanan pokok yang ada di Indonesia, yaitu; Beras, Jagung, Ketela pohon, Ubi jalar, Talas, Sagu, Gembili, Jawawut, dan lain-lain.
2. Beras merupakan sumber protein, karena di dalam beras terkandung berbagai zat yang bisa menghasilkan energi bagi tubuh manusia untuk beraktivitas.
3. Adapun sumber-sumber pengganti beras, yaitu; Pisang, Sukun, Ubi Alabio, Ubi Jalar, Jagung, Ketela Pohon, dan lain-lain. Untuk saat ini ketersediaan beras di Indonesia hampir mencukupi, walaupun Indonesia masih mengimport beras dari luar.
4. Rakyat Indonesia sebagian besar makanan pokoknya beras, yaitu hampir 90%. Semakin merosotnya lahan-lahan produktif untuk pertanian, karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap petani, komponen-komponen produksi beras harganya terus naik, kurangnya subsidi pemerintah terhadap petani, ini menjadi pemicu alih fungsi lahan pertanian. Sedangkan kebutuhan beras setiap tahun terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka munculah keinginan untuk mencari sumber-sumber pangan pengganti beras yang harganya lebih terjangkau dari pada harga beras yang terus meroket. Kurangnya teknologi dalam bidang pertanian yang menyebabkan produksi beras merosot, yang mengakibatkan negara Indonesia harus mengimport beras meskipun hanya 0,36% dari total kebutuhan beras nasional.
3.2 SARAN-SARAN

3.2.1 Pembaca dapat menggunakan makalah ini untuk menambah pengetahuan tentang Makanan Pokok..
3.2.2 Sehingga pembaca dapat memperluas pengetahuannya mengenai macam-macam makanan pokok, sumber makanan pokok, pengganti makanan pokak dan ketersediaan makanan pokok di negara Indonesia.














DAFTAR PUSTAKA
Budi, I.M. 2003. Pemanfaatan gandum Papua (pokem) sebagai sumber pangan alternative untuk menunjang ketahanan pangan masyarakat Papua. Aviable at : http://andy.web.id/makanan-pokok.php. accessed Oktober 2009.

Rumawas, F. 2004. Ubi-ubian sebagai salah satu pangan spesifik lokal dan strategi pengembangannya di Provinsi Papua. . Aviable at : http://www.e-dukasi.net/mapok/mp_full.php?id=382&fname=materi03.html accessed Oktober 2009.

Limbongan, J., A. Hanafiah, dan M. Nggobe. 2005. Pengembangan Sagu Papua. Aviable at : http://www.pustaka-deptan.go.id/inovasi/kl08081.pdf. accessed Oktober 2009.

Ondikleuw, M., M.S. Lestari, Sudarsono, dan A.W. Rauf. 2008. Karakterisasi, Identifikasi, dan konservasi gembili di Papua.
Aviable at : http://hersynanda.blog.uns.ac.id/2009/04/19/diversifikasi-makanan-pokok-beras-jagung . accessed Oktober 2009.

1 komentar:

  1. Makasih Informasinya
    Silahkan kunjungi BLOG kami http://h0404055.wordpress.com
    Terdapat artikel yang menarik dan bermanfaat, apabila berkenan tolong silahkan beri komentar
    Salam Kenal dan Terima Kasih

    BalasHapus